ini ceria

ini ceria

Minggu, 15 Mei 2011

SEJARAH KERATON KARTASURA MENJADI KERATON SURAKARTA

Dari Kartasura ke Surakarta

Keberadaan Keraton Surakarta secara prosesual sebegitu jauh tidak
bisa dilepaskan dengan ikatan kerajaan pendahulunya yaitu Mataram.
Kerajaan Mataram merupakan kerajaan di pedalaman Jawa yang didirikan
oleh Panembahan Senipati. Istilah pedalaman sengaja
ditekankan di sini untuk membedakan dengan kerajaan pendahulunya yaitu
Majapahit dan Demak yang letaknya tidak di pedalaman (hinterland)
melainkan dalam perkembangan pemerintah mengalami perubahan sebanyak
tiga kali. Pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I atau yang sering
disebut Sunan Tegalarum, karena ia meninggal di Tegalarum, pusat
Pemerintah dipindah ke Pleret. Berturut-turut kemudian keraton dari Plered
berpindah ke Wanakerta atau Kartasura ketika pemerintah Mataram di bawah
Sunan Amangkurat II, karena kondisi pusat kerajaan yang rusak akibat
perlawanan Trunajaya, dan akhirnya berpindah ke Sala
atau Surakarta setelah tragedi peristiwa Geger Pacina tahun 1742.
Perpindahan keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta banyak
ditentukan oleh kondisi keraton Kartasura yang rusak terbakar akibat peritiwa
Geger Pacina. Kondisi kerusuhan di Kartasura dimulai ketika tahun 1740
pemerintah VOC memberlakukan kebijakan pengurangan penduduk Cina di
Batavia karena semakin banyaknya penduduk Cina di sana serta semakin
kuatnya ekonomi mereka. Kebijakan ini menimbulkan kegelisahan di
kalangan penduduk Cina di Batavia. Akhirnya terjadi perlawnana orang-orang
Cina terhadap VOC. Kuatnya tekanan tentara Kompeni terhadap perlawanan
orang-orang Cina menyebabkan mereka banyak yang lari ke wilayah timur
Batavia. Dalam pelarian ke wilayah timur pemberontak Cina mendapat
dukungan dari para Bupati di wilayah Pasisiran. Selain itu bantuan terhadap
kaum pemberontak Cina juga diperoleh pihak penguasa Mataram Kartasura,
yaitu Paku Buwana II sekalipun tidak secara terus yaitu melalui patih kerajaan
yang bernama Adipati Natakusuma. Dukungan ini dilakukan setelah Sunan
melihat sepak terjang perlawanan pemberontak Cina yang luar biasa di
Kartasura.Tetapi keragu-raguan pihak Paku Buwana II
segera muncul ketika pusat VOC di timur Batavia juga di Semarang (wilayah
Noord-Oost Kust) tidak seger ajatuh ke tangan pihak orang-orang Cina. Secara
taktis Sunan akhirnya berpihak kembali kepada Kompeni serta kemudian
menangkap patihnya sendiri Adipati Natakusuma, yang akhirnya dibuang ke
Sailon.
Sekalipun kekuatan kelompok Cina diragukan oleh Sunan, namun
sebaliknya mereka bahkan memperoleh dukungan dari berbagai pihak.
Dukungan itu antara lain berasal dari Bupati Pati Mangunoneng, serta Bupati
Grobogan Martapura. bahkan pihak pemberontak berhasil menempatkan cucu
Amangkurat III, yaitu Mas Garendi sebagai penguasa Kartasura yang
kemudian terkenal dengan gelarnya Sunan Kuning. Selanjutnya Kartasura
sendiri berada di bawah kontrol pihak pemberontak. Pada
pertengahan tahun 1742 keadaan di Kartasura hampir tidak dapat dikuasai
oleh penguasa lama, yaitu Paku Buwana II. Akhirnya pada tahun itu juga raja
beserta seluruh kerabat dan pengikutnya meninggalkan keraton mengungsi
menuju Panaraga, melalui Laweyan. Kerabat dekat raja yang setia mengikuti
di antaranya adalah Pangeran Mangkubumi, serta patihnya yaitu Tumenggung
Pringgalaya.
Sementara kepergian raja yang telah menjadikan kevakuman
pemerintahan, menjadikan kepemimpinan kerajaan dapat digambarkan sangat
kacau. Pihak pemberontak menguasai Kartasura, banyak bangsawan kerabat
dekat raja sendiri malahan menjadi pendukung mereka seperti Pangeran
Prangwadana, Pangeran Harya Buminata, serta Pangeran Harya Singasari.
Pada akhir tahun 1742 istana Kartasura dapat direbut kembali
meskipun dalam keadaan rusak parah. Penguasaan kembali Kartasura itu
berkat bantuan Kompeni beserta dukungan para bupati mancanegara, seperti
Bupati Madura, Madiun, Panaraga, Jagaraga, Keduwang, serta Magetan.
Sekalipun sunan sudah dapat memegang kekuasaannya kembali, tetapi bukan
berarti semuanya sudah beres. Perlawanan dari pihak pendukung pemberontak
Cina masih terjadi Justru mereka itu kerabat dekat raja. Mereka adalah
Pangeran Harya Buminata dari Sembuyun, Pangeran Prangwadana,
Tumenggung Sujanapura, serta Pangeran Harya Singasari dari Keduwang.
Kondisi Keraton Kartasura yang sudah rusak serta perlawanan pihak
kerabat yang tidak kunjung reda menjadikan Sunan Paku Buwana II yang
telah menempati tahtanya kembali mempunyai rencana untuk mencari tempat
lain pengganti Kartasura. Hal demikian sudah menjadi kebiasaan manakala
karaton sudah tidak mungkin dipertahankan lagi. Selain itu juga karena adanya
anggapan umum di Jawa bahwa keraton yang rusak sebaiknya tidak perlu
ditempati karena sudah kehilangan wahyu lagi. Karena itu sebaiknya
ditinggalkan.

Ide untuk mencari keraton itu sempat disampaikan kepad patih
Pringgalaya. Dalam pembicaraan yang serius akhirnya diputuskan untuk
mencari tempat di sebelah timur keraton itu raja mengutus beberapa orang
seperti Patih Jawi Adipati Pringgalaya, Patih Lebet Adipati Sindureja, Mayor
Hogendrop, serta beberapa ahali nujum seperti Tumenggung Hanggawangsa,
Magkuyuda, serta Puspanegara. Beberapa pilihan akhirnya dapat :
1. Desa Kadipala. Daerah ini dianggap cukup ideal, tetapi para ahli nujum
agak keberatan karena cepat memperoleh malapetaka sekalipun mungkin
mampu mengalami kemakmuran.
2. Desa Sana Sewu. Mengenai tempat ini Tumengung Hanggawangsa kurang
bisa menyetujui, karena menurut ramalannya tempat ini bisa menimbulkan
perang saudara di Jawa.
3. Desa Sala. Untuk wilayah ini, sekalipun menurut pertimbangan hogendrop
kurang memadai akibat tekstur tanah yang rendah dan berawa-rawa, tetapi
sebaiknya Tumenggung Hanggawangsa berkat keahlian nujumnya justru
menyetujui pertimbangan memilih desa Sala ini sebagai keraton lama.
Setelah diadakan musyawarah, para utusan memilih desa Sala sebagai
calon satu-satunya untuk tempat berdirinya istana baru. Keputusan
musyawarah ini kemudian diberitahukan kepada Sunan di Kartasura. Setelah
menerima laporan para utusan tersebut, Sunan memerintahkan beberapa orang
abdi dalem untuk memastikan tempat itu. Para abdi dalem itu adalah
Panembahan Mijil, Abdil Dalem Suranata, Kyai Ageng Kalifah Buyut, Mas
Penghulu Fakih Ibrahim, serta seorang pujangga istana yaitu Raden
Tumenggung Tirtawiguna.

Proses pembangunan keraton di desa Sala berlangsung pada tahun
1743 hingga 1745. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada hari Rabu
Pahing, 17 Sura sesengkalan “Kambuhing Puja Asyara ing Ratu” (1670
Jawa= 1745 Masehi, atau 17 Februari 1745), merupakan hari perpindahan dari
Keraton Kartasura, yang selanjutnya menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat.
Setelah pusat istana pindah ke Surakarta, pembangunan kota terus
berlanjut. Dalam rangka ini pula Sunan sesungguhnya masih menghadapi
kepirhatinan atas adanya pembelotan dari pihak kerabat sendiri yang meskipun
karaton sudah pindah, tetapi mereka masih tetap tidak mau bergabung dengan
Sunan Paku Buwana II selaku penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat.
Seperti ditulis di depan para pembelot itu adalah Pangeran Harya Buminata,
angeran Harya Singasari, Pangeran Prangwadana, serta Panembahan Puger. Di
samping itu, Sunan selalu memikirkan tetnang nasib keraton di masa
mendatang. Sebab akibat didesak keadaan, Sunan terpaksa menandatangani
perjanjian dengan Kompeni tentang penyerahan daerah pesisiran kepada
Kompeni. Hal itu terjadi ketika Sunan kembali menduduki tahta Kerajaan
Kartasura tahun 1742. Perjanjian itu dilakukan Sunan dengan Komisaris
Kompeni yaitu Hoego Verijssel. Isi perjanjian itu antara lain :
1. Patih dan para Bupati daerah Pesisiran, sebelum mereka
memegang kekuasana harus sepengetahuan dan mendapat
persetujuan Kompeni.
2. Sunan menyerahkan Madura, Sumenep, dan Pamekasan.
3. Sunan menyerahkan Sedayu kepada salah seorang keturunan
Pangeran Cakraningrat dari Madura dan Sedayu berada di bawah
pengawasan Kompeni.
4. Sunan menyerahkan daerah-daerah Bang Wetan yaitu: Gresik,
Panarukan dan sekitarnya, Surabaya, Rembang, serta Semarang.
5. Sunan memberi gaji kepada 4000 orang Kompeni yang bertugas
menjaga keamanan di Kartasura sebesar 24.000 rel, setahun;
10.000 real dan 1000 koyan beras kepada Kompeni, juga 500
koyan kacang-kacangan.
6. Sunan memberikan hak monopoli dagang di daerah Mataram
kepada Kompeni.

Selain perjanjian di atas, sesudah pindah ke Surakarta, tahun 1746
Sunan juga menandatangani perjanjian dengan Gubernur Jenderal Van Imhoff.
Dalam kaitan ini Belanda minta seluruh daerah pesisiran. Perjanjian ini
dianggap sebagai pembaharuan perjanjian tahun 1743 di atas. Surat ini dibuat
tanggal 18 Mei 1746. Sejak inilah seluruh daerah Pesisiran diberikan kepada
Kompeni. Daerah-daerah tersebut ialah: Brebes, Tegal, Pemalang,
Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Juana, Kudus, Pati, Tuban, Sedayu,
Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, sebagian daerah Malang,
Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura.

Keadaan tersebtu oleh Sunan diberitahukan kepada Pangeran
Mangkubumi, sebagai orang kepercayaan Sunan. Hal ini tampaknya membuat
iri hati Patih Pringgalaya. Yang dijadi8kan alasan adalah tanah lungguh bagi
para pangeran ternyata tidak adil. Tanah lungguh Pangeran Mangkubumi di
Sukawati seluas 3000 karya, sementara tanah lungguh para pangeran lainnya
rata-rata hanya 1000 karya. Akibatnya kasus ini dianggap sebagai penyebab
timbulnya pembelotan atau sikap anti raja. Atas bujukan Pringgalaya dan
dukungan Kompeni, maka Sunan akhirnya menyetujui pengurangan luas tanah
lungguh bagi Pangeran Mangkubumi ini. Tindakan ini membuat marahnya
Pangeran Mangkubumi.

Kasus tanah Sukawati tampaknya awal meletusnya perlawanan
Pangeran Mangkubumi atau Perang Mangkubumen. Menanggapi isu
perlawanan Pangeran Mangkubumi ini, makin lama makin banyak para abdi
dalem dan sentana dalem yang mengikuti jejak Pangeran Mangkubumi.
Keadaan ini yang dipicu oleh perilaku Patih yang iri hati terhadap kedudukan
Mangkubumi menambah semakin rumitnya awal pemerintahan Kerajaan
Surakarta. Bahkan para pembelot seperti Pangeran Buminata, Pangeran
Prangwadana, Tumenggung Jayaminata yang tadinya pernah berhadapan
dengan Pangeran Mangkubumi ternyata ikut mendukung sikap Perlawanan
Pangeran Mangkubumi.

Peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1749 di Kasunanan ialah
buruknya kondisi kesehatan Sunan, sejak perginya Pangeran Mangkubumi
dari Keraton. Sebaliknya situasi ini justru digunakan Kompeni untuk
melaksanakan ambisinya. Pada saat Sunan jatuh sakit, datanglah Hegendrop
ke Surakarta dengan membawa surat perjanjian. Pada waktu itu, dalam
keadaan sakit, sambil dibangunkan dari tempat pembaringan Sunan berkenan
menyerahkan mahkota kerajaan Mataram kepada Kompeni serta menyerahkan
nasib putranya yaitu Pangeran Adipati Anom.Sejak saat itulah Kompeni
berkuasa penuh atas kerajaan Mataram, sebab tidak lama kemudian Sunan
Paku Buwana II meninggal dunia dan dimakamkan di
Laweyan.

Pada saat perlawanan Pangeran Mangkubumi semakin bersemangat
dan memperoleh beberapa hasil seperti penguasaan wilayah pesisiran kulon, di
dalam karaton terjadi proses pergantian tahta. Pada hari Senin Wage, 4 Sura,
Alip 1675 atau 1749 Masehi, putera mahkota kerajaan Pangeran Adipati
Anom dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwana III. Dalam
kaitan ini posisi Sunan adalah “wakil” Kompeni dalam memerintah Mataram.
Setelah acara penobatan diadakan perjanjian dengan Kompeni tanggal 11
November 1749. Perjanjian itu berisi butir-butir kesepakatan antara lain:
1. Sunan mengakui bahwa kekuasaannya diperoleh atas kebaikan hati
pemerintah Kompeni.
2. Segala ini perjanjian yang dibuat oleh leluhur Sunan tahun 1707,
1743, 1746, 1749 tetap berlaku.

Selanjutnya untuk menghadapi perlawanan Pangeran Mangkubumi,
Hogendrop berhasil memisahkan persekutuan antara Pangeran Prangwadana
dan Pangeran Mangkubumi. Sesudah itu pihak Kompeni pun berhasil
membujuk Sunan untuk merelakan wilayah Kerajaan Mataram dibagi dua
bagian wilayah. Usul ini tampaknya bisa diterima. Keduanya akhirnya bisa
berdamai, dan pada 13 Februari 1755 ditandatangani perjanjian bersama
antara Sunan dan Pangeran Mangkubumi, di Desa Giyanti, dekat Surkaarta.
Sejak saat itu pula berdirilah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lazim
disebut Kerajaan Yogyakarta. Gelar untuk Sunan tetap, sementara gelar
Pangeran Mangkubumi setelah naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwana.
Setelah tahun 1755 nama Kerajaan Mataram tidak lagi dipergunakan. Akan
tetapi kemudian wilayah itu lazim disebut Vorstenlanden atau praja Kejawen
untuk membedakan dengan wilayah Gubernemen (Gouvernement
Gebied).

Sekalipun kerajaan telah terbagi dua, yang kemudian membentuk
Kerajaan Suraakrta dan Yogyakarta pada tahun 1755, ternyata Sunan masih
menghadapi perlawanan. Pangeran Prangwadana masih melanjutkan perang.

Pusat pertahanannya di daerah Kuwu. Dalam pertempuran menghadapi
gabungan prajurit Sunan, Sultan dan Kompeni, prajurit Prangwadana
mengalami kelalahan. Mereka akhirnya menyingkir ke desa Lawang,
kemudian Gumantar, Sukawati. Pada waktu di Sukawati ini Prangwadana
kedatangan utusan Sunan, yang dalam pembicaraan mereka intinya
mengusulkan perdamaian dan meminta Pangeran Prangwadana untuk
berkenan pulang ke Surakarta. Utusan itu terdiri: Nyai Tumenggung
Setyawati, Kyai Tumenggung Rajaniti dan RT Mangunnagara. Dalam kaitan
ini melalui wakilnya Pangeran Mangkudinigrat, Pangeran Prangwadana
mengajukan syarat:
1. Minta agar gelar tetap, yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Mangkunegara.
2. Minta semua daerah yang telah pernah dikuasainay menjadi daerah
miliknya.
3. Minta rumah Kepatihan Sindurejan, sebagai tempat tinggalnya.
Semua usul Pangeran Prangwadana disetujui Sunan. Akhirnya pada
tahun 1757, Pangeran Prangwadana atau Pangeran Arya Mangkunegara
kembali ke Surakarta dan diberi tanah lungguh sebesar 4.000 karya, ditambah
daerah-daerah yang pernah dikuasainay semasa perang. Disamping itu ia
berhak menempati istana Patih Sindureja. Berhak berpakaian seperti Sunan
dan duduk sejajar dengan Sunan; dilarang duduk di dampar, membuat alunalun,
membuat Bale Winata, menjatuhkan hukuman mati, serta tidak boleh
menanam pohon beringin kembar.